Di sebuah kampus di Surabaya, ada seorang mahasiswa bernama Fian. Orang-orang selalu berpikir Fian itu biasa saja — nama yang biasa, jurusan Akuntansi yang bisa dibilang biasa, dan pacar bernama Rina yang juga biasa-biasa saja, tapi humoris. Mereka berdua seperti roti dengan selai, pas tapi cukup membosankan jika dinikmati terus-menerus.
Fian pernah berkata, “Cinta itu seperti spreadsheet, harus diatur dan seimbang.” Ya, Fian memang orangnya praktis. Tapi siapa sangka, bertemu dengan sesuatu yang tidak terduga, atau lebih tepatnya, seseorang.
Namanya Aditi. Mereka bertemu saat magang di sebuah agency marketing di Jakarta. Hari pertama magang adalah hari yang cukup menegangkan bagi siapa saja. Ada sedikit rasa was-was, campur aduk antara harapan dan kekhawatiran. Fian pun merasakan hal yang sama. Dia berjalan masuk ke ruangan dengan jaket semi-formal dan sneakers yang baru dibelinya di Grand Indonesia.
Saat melihat Aditi, sesuatu merubah atmosfer hari itu. Aditi sedang asyik membaca dokumen di komputernya, dengan mata yang fokus dan alis yang sedikit berkerut, tapi begitu melihat Fian, dia menoleh dan tersenyum.
Itu adalah senyum yang membuat Fian merasa seperti mendapat jackpot di mesin slot kehidupan — rasanya dia baru saja menang besar, tapi belum tahu apa yang harus dia lakukan dengan kemenangan itu.
Aditi berdiri dan memperkenalkan diri, “Hai, aku Aditi. Kamu magang di sini juga ya?”
Fian, yang biasanya cukup lancar berbicara, tiba-tiba merasa lidahnya terikat. “Uh, iya, aku Fian. Senang bertemu denganmu, Aditi.”
Mereka berdua duduk di meja yang bersebelahan. Sepanjang hari itu, Fian merasa ada keharmonisan yang aneh antara mereka. Mereka sama-sama tertarik pada diskusi tentang strategi pemasaran, sama-sama kesulitan menahan tawa saat salah satu rekan kerja membuat lelucon yang sedikit absurd, dan entah mengapa, mereka berdua juga sama-sama suka memesan kopi susu gula aren saat istirahat.
Aditi adalah orang yang bisa membuat rapat kantor terdengar seperti konser jazz, menarik dan penuh improvisasi. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap gestur yang dia lakukan, semuanya serasa cocok dan pas di tempatnya. Seperti sebuah puzzle yang selama ini hilang satu piecenya, dan tiba-tiba Fian menemukannya.
Namun, di balik itu semua, Fian mencoba untuk tetap fokus. “Oke, fokus Fian. Kamu di sini untuk magang, bukan untuk jatuh cinta,” pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri…
Sepekan setelah magang dimulai, Fian dan Aditi menyadari bahwa mereka memiliki ritual yang sama setiap hari Jumat sore: menutup pekan dengan secangkir kopi di Fore, sebuah kafe kecil namun elegan di Jakarta Selatan, yang hanya beberapa blok dari kantor mereka.
Awalnya, keduanya tidak sengaja bertemu di sana. Fian sedang asyik membalik-balik halaman buku sambil menyesap Americano ice-nya. Tiba-tiba, dia mendengar suara yang familiar memesan minuman di kasir.
“Satu Americano ice, ukuran reguler, ya.”
Fian menoleh, “Hai, Aditi! Kamu juga suka Americano ice?”
Aditi tampak kaget tapi senang, “Eh, an! Iya nih. Enak kan? Dari pada espresso yang bikin deg-degan.”
Fian tertawa, “Iya, enak! Mau duduk di sini?”
Aditi merespons sambil duduk, “Boleh, kok. Sendirian juga bosen.”
Fian menanyakan, “Sering ke sini?”
“Kadang-kadang. Biasanya sih Jumat, soalnya besok libur. Kamu?”
“Sama! Jumat sore di sini jadi rutinitas,” Fia menjawab sambil tertawa.
Aditi balas tertawa, “Rutinitas yang bagus, sih, kalau menurut gue. Lumayan bisa rehat sejenak dari kerjaan.”
Fian mengangguk, “Betul. Apalagi setelah seminggu penuh kerja di Jakarta, butuh banget deh istirahat.”
“Sama! Ini juga jadi semacam pelarian dari realita,” Fian tertawa.
Aditi menaikkan alisnya, “Pelarian dari realita? Duh, serius amat!”
Fian menggaruk kepalanya, “Ya, maksudnya, pekerjaan di agency itu kan dinamis. Jadi butuh tempat untuk… rehat, gitu.”
Aditi tertawa, “Dinamis itu istilah halusnya ya? Gue kira stres, sih.”
“Ya, itu juga!” Fian sedikit tertawa.
“Oke, oke, kamu menang! Ngomong-ngomong, kamu punya rencana apa setelah ini? Mau nonton film atau gimana?”, lanjut Aditi
“Nggak juga, mungkin pulang dan tidur. Besok masih ada kerjaan. Kamu?”
“Sama. Mungkin pulang, nonton Netflix sampai ketiduran,” Aditi mengakhiri dengan senyum.
Di antara tawa dan cerita, di antara dua gelas Americano ice, ada sesuatu yang tumbuh. Entah apa, tapi Fian merasa nyaman. Sangat nyaman.
Setelah pertemuan pertama di Fore, Fian dan Aditi jadi sering ngopi bareng di kafe itu. Ternyata, mereka berdua punya banyak kesamaan, terutama soal selera musik dan film. Fian sering kali menyarankan film-film keren untuk Aditi tonton, sementara Aditi selalu punya playlist baru yang cocok untuk mood Fian.
“Jadi, kamu sudah nonton film yang gue rekomendasiin kemarin?” tanya Aditi suatu sore di Fore.
“Belum, Aditi. Tapi kata Mbah Google sih film itu bagus,” jawab Fian sambil tertawa.
“Tunggu sampai kamu nonton sendiri, baru deh komplain ke gue kalau nggak bagus,” Aditi berkelakar.
Pertemuan di Fore ini jadi seperti rutinitas yang selalu ditunggu. Tapi, satu hal yang selalu terbersit di pikiran Fian adalah Rina, pacarnya yang di Surabaya. Rina adalah cewek yang baik dan mengerti Fian, tapi entah mengapa, saat ini, Fian merasa getaran yang berbeda saat bersama Aditi.
Suatu hari, Fian menawarkan untuk mengantar Aditi pulang setelah ngopi di Fore, karena ternyata rumah mereka nggak jauh beda. Di dalam mobil, suasana jadi lebih serius.
“Terima kasih, ya, udah mau diantar,” kata Aditi.
“Sama-sama. Lagian, kita kan satu arah,” balas Fian.
Tiba-tiba, lagu favorit Aditi muncul di radio. “Wah, ini lagu kesukaan gue!” seru Aditi.
Fian pun memperhatikan wajah Aditi yang nampak ceria dan bahagia. Di saat itu, tanpa disadari, perasaan Fiam berubah. Dia menyadari bahwa dia mulai jatuh cinta pada Aditi.
Di dalam mobil, sendirian, Fian merenung. Dia kebingungan untuk memilih tetap setia pada Rina, atau dengan Aditi yang tanpa sengaja meninggalkan bekas di hatinya.
“Ah, hidup ini memang penuh pilihan,” gumam Fian sambil menghela napas.
Dia pun melajukan mobilnya, meninggalkan rumah Aditi, dan juga sejumput perasaan yang tumbuh begitu saja. Fian tahu itu pilihan yang dia buat, dan dia harus bisa menerima apapun yang terjadi selanjutnya.
Fian merasa ada yang aneh. Biasanya, dia melihat wanita seperti melihat rumus akuntansi — kompleks tapi bisa dipahami. Tapi Aditi adalah seperti simbol matematika yang dia tidak pernah pelajari. Sangat membingungkan.
Semuanya berubah saat dia mengantar Aditi pulang dari kantor. Entah kenapa, di tengah kemacetan Jakarta yang bisa merubah mood orang menjadi seperti Hulk, Fian malah merasa berbeda. “Apakah ini yang orang-orang sebut cinta?” pikirnya.
Tapi tunggu, dia sudah punya pacar. Pacarnya, Rina, adalah seperti playlist lagu yang selalu dia dengar; familiar dan nyaman. Rina adalah wanita yang akan tertawa saat Fian bercanda, “Sayang, kalau aku jadi superhero, aku mau jadi Iron Man, biar bisa cium kamu pakai helm.”
Konflik di hati Fian makin memuncak. Seperti orang yang baru pertama kali pakai Excel, dia bingung harus mengisi cell yang mana.
Fian berjalan menuju pintu keberangkatan, hatinya ringan tapi juga berat. Dia tahu dia telah membuat keputusan yang benar, meskipun harus meninggalkan sesuatu yang juga terasa benar.
Dan di situlah Fian mengerti, cinta memang seperti spreadsheet. Kadang, kamu harus memilih di antara dua cell yang sama-sama penting, dan berharap formula yang kamu gunakan adalah yang terbaik.
3 bulan pun terlewati, Fian berjalan dengan langkah yang berat menuju ke Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta. Dia baru saja menyelesaikan magangnya di Jakarta dan akan kembali ke Surabaya, tempat Rina, pacarnya, menunggu. Tapi sesuatu mengganjal di hatinya — perasaan yang tumbuh saat bersama Aditi.
Dan seperti disuruh Tuhan, di antara kerumunan orang yang bergegas, dia melihat Aditi. Gadis itu tampak sedang mengecek ponselnya, rambutnya terurai indah, wajahnya tampak serius.
“Aditi!” Fian menyapa, berharap suaranya cukup keras untuk menarik perhatian gadis itu.
Aditi menoleh, “Eh, Fian! Kamu ke mana?”
“Bali — eh, maksudnya, balik ke Surabaya,” jawab Fian gugup, sengaja membuat kelakar untuk meredam suasana yang mendadak menjadi berat.
Aditi tersenyum, “Oh, oke. Selamat ya, magangnya sudah selesai.”
“Tapi aku rasa sesuatu bakal hilang dari hidupku di Jakarta,” Fian berusaha membuat suasana menjadi lebih ringan.
“Americano ice ukuran reguler dari Fore?” tebak Aditi, sambil tersenyum.
Fian tertawa, “Bukan, Aditi. Teman ngopi Jumat sore yang bisa bikin Jakarta nggak terasa macet dan sumpek.”
Mereka berdua tertawa, tapi mata mereka berbicara lebih dari itu. Ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang tidak bisa mereka ungkapkan.
“Aku juga bakal kangen, Fian,” Aditi akhirnya berkata, “Tapi ya, life goes on, kan?”
Fian mengangguk, “Betul. Aku harap kita masih bisa ngopi bareng suatu hari nanti. Mungkin di Surabaya, atau di Jakarta lagi.”
“Pasti,” Aditi menjawab, namun matanya nampak sedikit berkaca.
Mereka berdua lalu saling memeluk dengan erat, seolah itu adalah pelukan terakhir mereka.
di kursi pesawatnya, Dia tahu dia telah membuat keputusan yang tepat, tetapi sebagian kecil dari hatinya merasa seolah-olah telah meninggalkan sesuatu yang sangat berharga di Jakarta. Jatuh cinta tidak pernah dia rencanakan, apalagi pada seseorang seperti Aditi yang entah mengapa, bisa membuat hatinya merasa hangat dan dingin di saat yang sama.
Sebuah senyum simpul muncul di wajahnya, meski ada tetesan air mata yang mulai mengisi matanya. Dia menyadari bahwa cinta kadang memang datang tanpa diundang, singgah sebentar, namun meninggalkan bekas yang sangat dalam. Dan itu, bagi Fian, sudah lebih dari cukup.